BAB III
PRINSIP KEJUJURAN DAN KEADILAN
PRINSIP KEJUJURAN DAN KEADILAN
I. Etika Bisnis dalam Islam: Solusi yang
Berkeadilan
Apakah dalam bisnis diperlukan etika
atau moral? Jawabannya sangat diperlukan dalam rangka untuk melangsungkan
bisnis secara teratur, terarah dan bermartabat. Bukanlah manusia adalah makhluk
yang bermartabat?
Islam sebagai agama yang telah
sempurna sudah barang tentu memberikan rambu-rambu dalam melakukan transaksi,
istilah al-tijarah, al-bai’u, tadayantum dan isytara yang disebutkan
dalam al-Qur’an
sebagai pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius tentang dunia usaha
atau perdagangan. Dalam menjalankan usaha dagangnya tetap harus berada dalam
rambu-rambu tersebut. Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang dapat
diteladani dalam berbisnis, misalnya:
1.
Kejujuran.
Sesuatu
yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal
yang bersifat rahasia yang wajib diperlihara atau disampaikan kepada yang
berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau
ditambah-tambahi . Orang yang jujur adalah orang yang mengatakan sebenarnya,
walaupun terasa pahit untuk disampaikan.
Sifat
jujur atau dapat dipercaya merupakan sifat terpuji yang disenangi Allah,
walaupun disadari sulit menemukan orang yang dapat dipercaya. Kejujuran adalah
barang mahal. Lawan dari kejujuran adalah penipuan. Dalam dunia bisnis pada
umumnya kadang sulit untuk mendapatkan kejujuran. Laporan yang dibuat oleh
akuntan saja sering dibuat rangkap dua untuk mengelak dari pajak.
Rasulullah
Saw pada suatu hari melewati pasar, dimana dijual seonggok makanan. Beliau
masukkan tangannya keonggokan itu, dan jari-jarinya menemukannya basah. Beliau
bertanya: “Apakah
ini hai penjual”? Dia berkata “Itu meletakannya di atas agar
orang melihatnya? Siapa yang menipu kami, maka bukan dia kelompok kami” .
Kejujuran
merupakan ajaran Islam yang mulia. Hal ini berlaku dalam segala bentuk muamalah, lebih-lebih dalam jual beli
karena di dalamnya sering terjadi sengketa. Jual beli online adalah di antara
jual beli yang ditekankan adanya sifat kejujuran. Kejujuran inilah yang
nantinya mendatangkan keberkahan.
A.Islam Mengajarkan Sifat Jujur
Dalam beberapa ayat,
Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk
berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah
Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian
itu lebih baik bagi mereka” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat
'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga
dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud
menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى
الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ
يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya
kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan
mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha
untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan
mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika
seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di
sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Muslim).
Begitu pula dalam hadits
dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ
الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu.
Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan
menggelisahkan jiwa” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, hasan shahih). Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta
(menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu
mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam
jiwa.
B.Penekanan Sifat Jujur bagi Pelaku Bisnis
Terkhusus lagi, terdapat
perintah khusus untuk berlaku jujur bagi para pelaku bisnis karena memang
kebiasaan mereka adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi
melariskan barang dagangan.
Dari Rifa'ah, ia
mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke
tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau
lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun
memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti
sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah,
berbuat baik dan berlaku jujur” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih dilihat dari jalur lain).
Contoh bentuk penipuan
yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ
طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau
menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai
pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena
air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak
meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah,
barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR.
Muslim). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan
perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ
فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang
yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu
Hibban, shahih).
Lebih-lebih sifat jujur
ini ditekankan pada pelaku bisnis online karena tidak bertemunya penjual dan
pembeli secara langsung. Si penjual kadang mengobral janji, ketika dana telah
ditransfer pada rekening penjual, barang pun tak kunjung datang ke pembeli.
Begitu pula sebagian penjual kadang mengelabui pembeli dengan gambar, audio dan
tulisan yang tidak sesuai kenyataan dan hanya ingin menarik pelanggan.
C.Jujur Kan Menuai Berkah
Dari sahabat Hakim bin
Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ
قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى
بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih
(khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling
terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi
tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi,
niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih).
Di antara keberkahan
sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan berbagai jalan keluar dan
kelapangan. Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat At Taubah ayat 119.
Beliau mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah
dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur.
Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga
kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.”
Moga kita selaku muslim
bisa terus mengagungkan sifat jujur. [@ Panggang-Gunung Kidul, 5 Ramadhan 1433
H]
2.
Keadilan
Islam sangat mengajurkan
untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku
dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat
curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta
untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu
dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut,
karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum
muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai
melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
Berbisnis dengan cara yang curang
menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai
kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang
semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk
dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan,
ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.
3.
Barang atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya maupun cara
mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun dengan tidak
melihat agama dan keyakinan dari mitra bisnisnya, karena ini persoalan mu’amalah
dunyawiyah, yang penting barangnya halal.
Halal dan haram adalah
persoalan prinsipil. Memperdagangkan atau melakukan transaksi barang yang
haram, misalnya alkohol, obat-obatan terlarang, dan barang yang gharar
dilarang dalam Islam .
Di bawah ini tabel tentang prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam,
adalah sebagai berikut:
Tabel
: Prinsip Halal dan Haram
No.
|
Prinsip Halal dan Haram
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
Prinsip dasarnya adalah
diperbolehkan segala sesuatu.
Untuk membuat absah dan
untuk melarang adalah hak Allah semata.
Melarang
yang halal dan menbolehkan yang haram sama dengan syirik.
Larangan
atas segala sesuatu didasarkan atas sifat najis dan melukai.
Apa yang halal adalah
yang diperbolehkan, dan yang haram adalah yang dilarang.
Apa yang mendorong pada
yang haram adalah juga haram.
Menganggap yang haram
sebagai halal adalah dilarang.
Niat yang baik tidak
membuat yang haram bisa diterima.
Hal-hal yang meragukan
sebaiknya dihindari.
Yang haram terlarang
bagi siapapun.
Keharusan menetukan
adanya pengecualian.
|
Sumber: Lihat Muhammad dan R.
Luman Faurani, Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002, hlm. 132. Lihat juga Choril Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam: Sebuah
Perspektif Lingkungan Global”, dalam Ulumul
Qur’an,
No. 3/V/1997, hlm. 16.
Secara umum Islam menawarkan nilai-nilai dasar
atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Nilai-nilai
dasar etika bisnis dalam Islam adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan
ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke prinsip umum tentang keadilan,
kejujuran, keterbukaan (transparansi), kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab
dan akuntabilitas. Semua ini akan lebih mudah dipahami dalam bentuk tabel
berikut ini:
Tabel : Nilai Dasar dan Prinsip Umum
Etika Bisnis Islami
Nilai Dasar
|
Prinsip Umum
|
Pemaknaan
|
Tauhid
|
Kesatuan dan Integrasi
Kesamaan
|
n Integrasi antar semua bidang
kehidupan, agama, ekonomi, dan sosial-politik-budaya.
n Kesatuan antara kegiatan bisnis
dengan moralitas dan pencarian ridha Allah.
n Kesatuan pemilikan manusia dengan
pemilikan Tuhan. Kekayaan (sebagai hasil bisnis) merupakan amanah Allah, oleh
karena itu didalam kekayaan terkandung kewajiban sosial.
n Tidak ada diskriminasi diantara
pelaku bisnis atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, atau
agama.
|
Khilafah
|
Intelektualitas
Kehendak Bebas
Tanggungjawab dan Akuntabilitas
|
n Kemampuan kreatif dan konseptual
pelaku bisnis yang berfungsi membentuk, mengubah dan mengembangkan semua
potensi kehidupan alam semesta menjadi sesuatu yang konkret dan bermanfaat.
n Kemampuan bertindak pelaku bisnis
tanpa paksaan dari luar, sesuai dengan parameter ciptaan Allah.
n Kesediaan pelaku bisnis untuk
bertang gungjawab atas dan mempertanggung jawabkan tindakannya.
|
Ibadah
|
Penyerahan Total
|
n Kemampuan pelaku bisnis untuk mem
bebaskan diri dari segala ikatan penghambaan manusia kepada ciptaan nya
sendiri (seperti kekuasaan dan kekayaan).
n Kemampuan pelaku bisnis untuk men
jadikan penghambaan manusia kepada Tuhan sebagai wawasan batin sekaligus
komitmen moral yang berfungsi mem berikan arah, tujuan dan pemaknaan terhadap
aktualisasi kegiatan bisnisnya.
|
Tazkiyah
|
Kejujuran
Keadilan
Keterbukaan
|
n Kejujuran pelaku bisnis untuk tidak
mengambil keuntungan hanya untuk dirinya sendiri dengan cara menyuap,
menimbun barang, berbuat curang dan menipu, tidak memanipulasi barang dari
segi kualitas dan kuantitasnya.
n Kemampuan pelaku bisnis untuk men
ciptakan keseimbangan/moderasi dalam transaksi (mengurangi timbangan) dan membebaskan
penindasan, misalnya riba dan memonopoli usaha.
n Kesediaan pelaku bisnis untuk
meneri ma pendapat orang lain yang lebih baik dan lebih benar, serta
menghidupkan potensi dan inisiatif yang konstruktif, kreatif dan positif.
|
Ihsan
|
Kebaikan bagi orang lain
Kebersamaan
|
n Kesediaan pelaku bisnis untuk
memberi kan kebaikan kepada orang lain, misalnya penjadwalan ulang, menerima
pengembalian barang yang telah dibeli, pembayaran hutang sebelum jatuh tempo.
n Kebersamaan pelaku bisnis dalam
membagi dan memikul beban sesuai dengan kemampuan masing-masing, kebersamaan
dalam memikul tanggung jawab sesuai dengan beban tugas, dan kebersamaan dalam
menikmati hasil bisnis secara proporsional.
|
Sumber: M.A. Fattah Santoso, “Etika
Bisnis: Perspektif Islam”, dalam
Maryadi dan Syamsuddin (ed.)., Agama Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi
Politik. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001, hlm. 213-214.
4.
Tidak Ada Unsur Penipuan
Penipuan atau al-tadlis / al-ghabn
sangat dibenci oleh Islam, karena hanya akan merugikan orang lain, dan
sesungguhnya juga merugikan dirinya sendiri. Apabila seseorang menjual sesuatu
barang, dikatakan bahwa barang tersebut kualitasnya sangat baik, kecacatan yang
ada dalam barang disembunyikan, dengan maksud agar transaksi dapat berjalan
lancar. Tetapi setelah terjadi transaksi, barang sudah pindah ke tangan
pembeli, ternyata ada cacat dalam barang tersebut. Berbisnis yang mengandung
penipuan sebagai titik awal kehancuran bisnis tersebut.
Mau file lengkapnya?Download aja dah
file yang diatas kok udah not found ya gan?
BalasHapus